Di Tahun 2013 kemarin, Toko buku penuh judul-judul bagus.
Saya membaca salah satu judul buku lama yang menarik, “Berani Menertawakan Diri
Sendiri!”.
Saat itu sempat berpikir. Kasihan banget tuh orang (maksudnya
pengarang), menertawakan orang lain saja (dalam arti negatif) sudah menjadi
bagian dari pelecehan. Apalagi menertawakan diri sendiri.Berarti melecehkan diri sendiri? Hadauw. Bagaimana orang bisa menghargai diri kita kalau si empunya badan saja tidak menghargainya?
SUNG-GUH TER-LA-LU!
Tapi kemudian saya berpikir lagi, gimana kalau yang dimaksud
penulisnya bukan begitu? Asli, saya penasaran.
Tapi karena saat itu bersama dengan keluarga. Dan hobi si
bungsu menarik-narik baju, nggak suka kalau ibunya asyik dengan diri sendiri.
Terpaksa, buku yang masih dalam plastik itu, saya kembalikan lagi pada rak-nya.
Setelah itu beberapa kali saya menemukan acara motivasi di TV
yang kurang lebihnya membahas tentang itu, ngomong-ngomong dengan suami, dan
memperhatikan sekitar (halah! Wong memperhatikan diri sendiri aja belum
pinter!)... ee tetep saja, rada-rada ngambang dan nggak jelas. Apa yang
dimaksud menertawakan diri sendiri.
Tetapi, tadi pagi si adik dan
kakak bertengkar. Masalahnya, kopi yang
saya buat untuk suami tumpah, cawannya menjadi puing-puing berantakan. Mereka
saling menyalahkan, siapa yang menyenggol lebih dulu. Adu argumen antara kedua
anak saya, membuat ingatan saya
melayang-layang ....
Dulu, dulu sekali. Waktu saya masih belia kurang lebih masih
SD awal. Kalau berbuat kesalahan, saya selalu berharap, “Ndang sesuk,... ndang
sesuk. (cepet besok, cepat besok). Maksudnya apa? Saya ingin sekali hari
itu cepat berlalu, secepatnya besok, dan besok, dan besok lagi. Hingga saya
berani jujur kepada orang tua atas semua kesalahan.
Seperti, ketika memecahkan gelas, puing-puingnya saya sembunyikan
di bawah lemari. Ketika orang tua bertanya, saya tidak berani mengaku. Hingga
saatnya tiba, beberapa hari setelahnya saya
baru berani jujur.
Dan kenyataannya, hari ini setelah tahun-tahun berjalan. Saya
tidak hanya berani jujur mengakui kesalahan. Bahkan menertawakan
kesalahan-kesalahan itu dengan, teman-teman pengajian, teman-teman arisan, atau
sesama ibu penunggu anak di sekolah. Dan imbal baliknya, teman-teman pun
menertawakan typo-typo, yang juga merupakan bagian jalan hidup mereka. Saling
tertawa menertawai begini mengendurkan urat syaraf untuk saling belajar, nelusur
mencari hikmah, bahwa sebenarnya apa yang saya alami, juga dialami oleh
teman-teman, hanya bentuknya saja yang berbeda. Saya harap, jika itu terjadi
pada anak-anak. Saya cukup wise menyikapinya.
Butuh kekuatan untuk menertawai diri sendiri. Butuh kebijakan
untuk mengakui bahwa manusia memiliki segudang kesalahan. Srrrt..., baju saya
ditarik oleh si Kecil, dia meminta saya menengahi masalah kopi tumpah itu.
Hmm,.. mencoba tersenyum, wise.
Don’t worry, I love
you baby, who ever you are.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar