Senin, 27 Januari 2014

Be Wise




Di Tahun 2013 kemarin, Toko buku penuh judul-judul bagus. Saya membaca salah satu judul buku lama yang menarik, “Berani Menertawakan Diri Sendiri!”. 


Saat itu sempat berpikir. Kasihan banget tuh orang (maksudnya pengarang), menertawakan orang lain saja (dalam arti negatif) sudah menjadi bagian dari pelecehan. Apalagi menertawakan diri sendiri.Berarti melecehkan diri sendiri? Hadauw. Bagaimana orang bisa menghargai diri kita kalau si empunya badan saja tidak menghargainya?

SUNG-GUH TER-LA-LU! 
 


Tapi kemudian saya berpikir lagi, gimana kalau yang dimaksud penulisnya bukan begitu? Asli, saya penasaran.


Tapi karena saat itu bersama dengan keluarga. Dan hobi si bungsu menarik-narik baju, nggak suka kalau ibunya asyik dengan diri sendiri. Terpaksa, buku yang masih dalam plastik itu, saya kembalikan lagi pada rak-nya.


Setelah itu beberapa kali saya menemukan acara motivasi di TV yang kurang lebihnya membahas tentang itu, ngomong-ngomong dengan suami, dan memperhatikan sekitar (halah! Wong memperhatikan diri sendiri aja belum pinter!)... ee tetep saja, rada-rada ngambang dan nggak jelas. Apa yang dimaksud menertawakan diri sendiri.


Tetapi, tadi pagi si adik dan  kakak bertengkar.  Masalahnya, kopi  yang  saya buat untuk suami tumpah, cawannya menjadi puing-puing berantakan. Mereka saling menyalahkan, siapa yang menyenggol lebih dulu. Adu argumen antara kedua anak saya, membuat  ingatan saya melayang-layang ....


Dulu, dulu sekali. Waktu saya masih belia kurang lebih masih SD awal. Kalau berbuat kesalahan, saya selalu berharap, “Ndang sesuk,... ndang sesuk. (cepet besok, cepat besok). Maksudnya apa? Saya ingin sekali hari itu cepat berlalu, secepatnya besok, dan besok, dan besok lagi. Hingga saya berani jujur kepada orang tua atas semua kesalahan. 


Seperti, ketika memecahkan gelas, puing-puingnya saya sembunyikan di bawah lemari. Ketika orang tua bertanya, saya tidak berani mengaku. Hingga saatnya tiba, beberapa hari setelahnya saya  baru berani jujur. 


Dan kenyataannya, hari ini setelah tahun-tahun berjalan. Saya tidak hanya berani jujur mengakui kesalahan. Bahkan menertawakan kesalahan-kesalahan itu dengan, teman-teman pengajian, teman-teman arisan, atau sesama ibu penunggu anak di sekolah. Dan imbal baliknya, teman-teman pun menertawakan typo-typo, yang juga merupakan bagian jalan hidup mereka. Saling tertawa menertawai begini mengendurkan urat syaraf untuk saling belajar, nelusur mencari hikmah, bahwa sebenarnya apa yang saya alami, juga dialami oleh teman-teman, hanya bentuknya saja yang berbeda. Saya harap, jika itu terjadi pada anak-anak. Saya cukup wise menyikapinya. 


Butuh kekuatan untuk menertawai diri sendiri. Butuh kebijakan untuk mengakui bahwa manusia memiliki segudang kesalahan. Srrrt..., baju saya ditarik oleh si Kecil, dia meminta saya menengahi masalah kopi tumpah itu. 


Hmm,.. mencoba tersenyum, wise.

Don’t worry, I love you baby, who ever you are.